Malam Terakhir di Tebuireng: Mengenang Saat-Saat Terakhir Kiai Hasyim Asy’ari Sebelum Wafat

12-19-10-img_20200430_201728

Mbah KH Hasyim Asy'Ari. (Dok Istimewa)

REMBANGCYBER – Hari ini, Jumat 7 Maret 2025 bertepatan dengan 7 Ramadan 1446 H. Tepat hari ini, 80 tahun silam, Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari menghadap sang Khalik.

Untuk mengenang almaghfurlah, kami menghadirkan kembali kisah saat-saat terakhir Mbah Hasyim sebelum berpulang ke haribaan ilahi, yang kami sarikan dari berbagai sumber dan kami ceritakan dalam bentuk tulisan feature.

Malam Terakhir di Tebuireng: Ketika Sejarah Mengetuk Pintu Kiai Hasyim

Tebuireng berbisik pelan malam itu. Angin Ramadan bertiup lembut, menyelinap di antara bilik-bilik pesantren yang menjadi saksi keteguhan seorang ulama. Langit tampak tenang, seolah menanti takdir yang akan terukir dalam sejarah.

Hadratussyaikh KH M. Hasyim Asy’ari baru saja menyelesaikan salat Tarawih. Seperti malam-malam sebelumnya, beliau duduk di kursi, memberikan pengajian kepada ibu-ibu Muslimat. Kata-katanya mengalir sejuk, menenangkan hati mereka yang mendengar.

cek

Namun, di luar sana, sejarah sedang mengetuk pintu Tebuireng. Seorang utusan datang membawa pesan dari dua sosok penting: Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Ia datang bukan hanya membawa surat, tetapi juga kabar yang mengguncang.

“Belanda telah menyerang. Kota-kota di Jawa Timur dalam bahaya,” ujar utusan itu, suaranya bergetar oleh situasi yang genting.

Kiai Hasyim mendengar dengan saksama. Pesan itu berisi tiga hal: pertama, Belanda sedang melancarkan agresi besar-besaran untuk merebut Surabaya, Malang, Madiun, dan kota-kota lainnya. Kedua, Jenderal Sudirman meminta Kiai Hasyim mengungsi ke Sarangan, Magetan, agar tidak tertangkap. Jika sampai tertawan, Belanda akan memaksanya membuat pernyataan mendukung mereka. Dan yang ketiga, jajaran TNI diperintahkan membantu proses pengungsian beliau.

Ruangan itu hening. Angin seakan berhenti berembus. Kiai Hasyim menatap tamunya, lalu berkata, “Beri aku waktu semalam untuk berpikir.”

Fajar menyingsing, dan keputusan telah bulat. Kiai Hasyim menolak mengungsi. Bagi beliau, seorang pemimpin harus tetap berada di tengah umatnya, bukan bersembunyi di tempat aman.

Empat hari berlalu. Malam 7 Ramadan kembali membawa kabar. Utusan dari Jenderal Sudirman dan Bung Tomo datang lagi, kali ini dengan permohonan yang lebih mendesak.

“Bung Tomo meminta Kiai mengeluarkan komando jihad fi sabilillah. Belanda telah menguasai Malang. Laskar Hizbullah dan Sabilillah banyak yang gugur.”

Kiai Hasyim terdiam. Matanya menerawang jauh. Jihad bukan sekadar kata, tetapi sebuah keputusan besar yang menyangkut nyawa banyak orang. Sekali lagi, beliau meminta waktu semalam untuk menjawab.

Namun, takdir berkata lain.

Belum sempat fajar menyingsing, kabar lain datang. Singosari, Malang telah jatuh ke tangan Belanda. Laporan itu disampaikan oleh Kiai Ghufron dan dua utusan Bung Tomo.

“Masyaallah, Masyaallah…” Kiai Hasyim berbisik pelan sambil memegang kepalanya. Seketika, tubuhnya melemah. Dunia seolah berhenti.

Pukul 03.00 dini hari, 7 Ramadan 1366 H, di bulan suci penuh keberkahan, Hadratussyaikh KH M. Hasyim Asy’ari berpulang ke rahmatullah.

Kepergian beliau bukan sekadar kehilangan seorang ulama, melainkan seorang pejuang. Seorang ayah bagi umat, yang tak hanya mewariskan ilmu, tetapi juga keberanian dan keteguhan.

Atas jasanya dalam perjuangan kemerdekaan, Presiden Soekarno menetapkan Kiai Hasyim sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden No. 249/1964.

Kini, di keheningan Ramadan ini, kita mengenang beliau. Sosok yang dalam detik-detik terakhir hidupnya masih memikirkan perjuangan umat.

Kagem Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari Lahu Al-Fatihah.

Penulis: Aba Tabisa

 

 

 

Exit mobile version