GUNEM, REMBANGCYBER.NET – Di Desa Panohan, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, sebatang pohon beringin raksasa pernah berdiri tegak, menaungi sebuah makam yang dihormati.
Akar-akarnya menjalar, merangkul tanah dengan erat, seolah menjadi penjaga setia yang tak pernah lengah. Di bawah naungan rimbunnya, Ki Ageng Panohan atau Mbah Sholeh bersemayam dalam keheningan.
Pintu masuk makam tak seperti kebanyakan. Tak ada gerbang besi atau tembok tinggi yang menjadi batas. Sebagai gantinya, akar-akar beringin tua melingkar membentuk celah sempit, memaksa siapa pun yang ingin masuk untuk merendahkan diri. Hanya dengan berjongkok, seseorang bisa melewatinya—seolah akar itu sendiri ingin memastikan bahwa hanya mereka yang datang dengan niat tulus yang boleh melangkah lebih jauh.
Di dalamnya, makam terasa teduh, seperti dipeluk oleh ketenangan yang telah berabad-abad tinggal di sana. Lantai berkeramik menyambut para peziarah yang ingin berdoa. Sekitar 10 hingga 20 orang bisa duduk dalam diam, membiarkan semilir angin menyampaikan doa mereka ke langit.
Perjalanan Sang Wali
Jauh sebelum makam ini ada, jauh sebelum akar-akar itu tumbuh dan melingkari tempat ini, Ki Ageng Panohan telah lebih dulu menjejakkan kakinya di tanah ini. Beliau bukan warga asli Panohan, melainkan datang dari Cirebon, Jawa Barat. Pada masa kolonial, ketika para kiai dari Banten dan Jawa Barat harus mundur untuk menghimpun kekuatan, Mbah Sholeh bersama dua cantriknya, Kiai Ali Mahmudi dan Kiai Abu Bakar, bergerak menuju selatan Lasem.
Mereka tidak hanya membawa ilmu agama, tetapi juga keteguhan hati. Setiap langkah mereka meninggalkan jejak ajaran yang mudah diterima masyarakat. Ramah dalam tutur kata, bijak dalam tindakan, mereka diterima dengan tangan terbuka. Saat ajal menjemput, Mbah Sholeh dimakamkan di Panohan, sementara dua cantriknya beristirahat di tempat berbeda di desa yang sama.
Awalnya, makam ini hanyalah tanah sunyi yang tertutup semak. Namun, semakin banyak peziarah datang, semakin besar kepedulian warga untuk merawatnya. Kini, joglo peristirahatan berdiri di sisi makam, menjadi tempat bagi mereka yang ingin mengheningkan diri sejenak sebelum melangkah lebih dekat.
Tumbangnya Sang Penjaga
Pada suatu hari di bulan Maret 2022, sesuatu terjadi. Pohon beringin yang telah berabad-abad berdiri tegak itu tiba-tiba tumbang. Tak ada angin kencang, tak ada hujan deras yang mengiringinya. Ia roboh begitu saja, seolah mengakhiri tugasnya setelah sekian lama menjaga.
Namun, yang mengejutkan, makam Ki Ageng Panohan tetap utuh. Pusara di dalamnya tak tersentuh sedikit pun. Seolah-olah ada kekuatan lain yang menjaga, memastikan bahwa tanah ini tetap suci dan tak ternoda.
Di dalam joglo peristirahatan, silsilah keturunan Mbah Sholeh terpampang jelas. Namanya tersusun dalam garis panjang yang bermuara pada Nabi Muhammad SAW, melalui jalur Sayyidina Husain. Ia juga masih memiliki hubungan darah dengan Sunan Gunung Jati, Wali Songo yang namanya telah abadi dalam sejarah.
Kini, meskipun pohon beringin itu telah tiada, makam Ki Ageng Panohan tetap hidup dalam ingatan. Setiap peziarah yang datang membawa doa, setiap langkah yang menapak ke dalam makam menjadi pengingat bahwa tempat ini bukan sekadar tanah biasa. Ia adalah saksi bisu perjalanan seorang wali, yang jejaknya masih terasa dalam setiap hembusan angin yang menyentuh tempat ini. ABA