SALE – PT Sinar Asia Fortuna (SAF) yang bergerak di usaha pertambangan melaporkan kasus dugaan penyerobotan lahan tambang kapur miliknya yang dilakukan oleh perusahaan tambang lain, Green Flower kepada polisi .
Kepala Produksi Tambang PT SAF Agung Pratikto mengatakan, akibat penyerobotan tesebut, pihaknya menderita kerugian sekitar Rp680 juta. Perhitungan tersebut berdasarkan kalkulasi volume material tambang yang hilang sebanyak 4.550 meter kubik.
“Kami bawa persoalan ini ke meja hukum. Kami komitmen menuntaskan kasus ini. Apalagi ada indikasi perusahaan tambang yang bersangkutan tidak memiliki legalitas,” ucapnya, Rabu (8/2).
Agung menambahkan, dari pihak mereka (penyerobot) sempat mau menguruk lahan yang sudah ditambang pakai grosok.
“Kami menolaknya. Grosok kalau kena air kan larut,” tambahnya.
Kepala Bagian Umum PT Sinar Asia Fortuna Bambang Susilo menyebutkan, lahan yang diduga diserobot berluasan sekitar delapan meter persegi dengan kedalaman sekitar 20 meter berada di wilayah Gunem.
Dugaan penyerobotan lahan itu diketahui sekitar 3-4 bulan lalu. Saat itu tebing lahan longsor. Setelah ditinjau, ternyata lahan ditambang oleh perusahaan tambang lain yang berbatasan.
“Kami telah peringatkan secara lisan beberapa kali, tetapi tidak diindahkan. Mereka menambang pakai bracker,” terangnya.
Pihaknya sempat melaporkan kasus dugaan penyerobotan lahan kepada pihak Kepolisian Sektor Sale. Namun karena lokasi lahan tambang itu masuk wilayah Desa Tegaldowo, maka pihak PT SAF beralih melaporkan persoalan tersebut ke pihak Polsek Gunem.
“Kami menduga penyerobotan dilakukan berkali-kali. Selama ini kami hanya bisa memperingatkan secara lisan karena untuk memperingatkan secara tertulis cukup sulit lantaran bos mereka jarang bisa ditemui di kantor perusahaan yang bersangkutan di Wonokerto,” paparnya.
Selain melaporkan ke pihak kepolisian, PT SAF juga mengadukan persoalan tersebut ke Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jawa Tengah sebagai pengendali tambang.
Saat ini, PT SAF hanya mampu produksi sekitar 20.000 ton per bulan dari semula 60.000 ton per bulan. Penyebabnya karena kalah bersaing dengan perusahaan tambang liar yang menjual material dengan harga lebih murah lantaran memakai BBM ilegal dan tidak menjaminkan biaya reklamasi.
Penurunan produksi berdampak pada efisiensi tenaga kerja dari 200-an pekerja kini tinggal 170-an pekerja. (rom)